Senin, 21 Maret 2016

TRADISI ISLAM DI KOTA PALEMBANG

1.      Ziarah kubra
Setiap tahunnya saat memasuki Ramadhan, umat Islam di Palembang menggelar tradisi Haul Ziarah Kubra ulama dan auliya Palembang Darussalam. Tradisi turun menurun sudah dilakukan sejak puluhan tahun silam khususnya bagi kaum alawiyyin dan salaf Baalawi setiap menjelang bulan Ramadhan tepatnya pada Jum’at terakhir sebelum Ramadhan selama 3 hari, sejak Jumat, Sabtu dan Minggu. Bahkan banyak tokoh-tokoh Islam yang selalu hadir seperti Habib Bagir Al Atas dari Pekalongan, Habib Sholeh Al Idrus dari Malang dan Imam Habib Umar bin Abdulrahman Al Zufri dari Madinah. Acara ini juga melibatkan keluarga Kesultanan Palembang Darussalam mengingat eratnya hubungan kekeluargaan antara kaum Alawiyyin dengan para sultan di Kesultanan Palembang Darussalam. Salah satu tujuan dilakukan ziarah ini adalah untuk mengenang dan meneladani para ulama yang telah melakukan syiar Iislam di kota Palembang. Kegiatan ini dilaksanakan dengan berjalan kaki, membawa umbul-umbul yang bertuliskan kalimat tauhid, dan juga disemarakkan dengan tetabuhan hajir marawis dan untaian kasidah.
Biasanya, rangkaian pertama dari Ziarah Kubra ini adalah diawali dengan haul Al-Habib Abdullah bin Idrus dan Al-Habib Abdurrahman bin Ahmad Al-bin Hamir. Haul ini dilaksanakan di perkampungan Alawiyyin Sungai Bayas Kelurahan Kuto Batu Palembang.
Menurut sejarah, perkampungan Sungai Bayas ini sudah ada sejak 300 tahun lalu. Kampung ini merupakan pemukiman awal para ulama dari Hadramaut (Yaman), yang menyebarkan ajaran Islam di Palembang dan daerah lain di Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam. Kini para keluarga ulama itu menetap di perkampungan di sekitar Sungai Bayas, antara lain Kampung Muaro, 10 Ilir, 13 Ilir, Lawang Kidul, dan Al-Fakhru. Sementara di  seberang ulu, antara lain Kampung As-Seggaf, Al-Kaaf, Al-Munawar, Al-Habsyi, Kenduruan, dan Sungai Lumpur. Selanjutnya Ziarah dilakukan  di makam Pangeran Syarif Ali, Pemakaman kesultanan kawah tengkurep, Pemakaman kambang koci.
http://sufiroad.blogspot.co.id/2015/11/hikam-bnu-athaillah-amal-makrifat.html
2.      Cacap – cacapan
Pengantin yang sudah berpakaian pengantin siap untuk di lakukannya cacap-cacapan dan suap-suapan.Suap-suapan, acara ini di bawakan oleh perempuan baik dari pembawa acara, pelantun pantun, pembaca doa, begitu juga dengan yang melakukan suapan dengan pengantin, pada saat di tempat acara pengantin perempuan duduk di belakang pengantin pria dan di lakukan suapan dari nasi kunyit panggang ayam (mirip seperti tumpeng).Cacapan-cacapanUntuk cacap-capan ritual yang di lakukan sama seperti suap-suapan tetapi untuk cacap-cacapan ini berupa air bunga yang di usapkan di dahi dan ubun-ubun (seputaran kepala), untuk sekarang biasanya kedua acara di atas sudah di campur antara perempuan dan laki-laki jadi ada juga yang melakukan cacap-cacapan adalah laki-laki ayah dari pengantin perempuan dan pengantin laki-laki.Setelah acara ini biasanya di lakukan acara perjamuan dengan susunan makanan panjang di mana di tengahnya ada kelmplang “Tunjung”, srikaya, bolu kojo, bluder dan berbagai makanan lainnya (untuk di ingat biasanya kelmplang tunjung hanya di jadikan sebagai symbol tidak boleh di makan). http://www.kompasiana.com/18apri1983palembang/adat-palembang-dalam-perkawinan_55001d5da333118d7350fa06
3.      Tradisi Beratib
Acara beratib ini di laksanakan sesuai dengan waktu yang telah di tentukan ada yang di lakukan pada malam Jumat, atau selesai acara perayaan ratib samman ini sebagai bentuk suyukuran kepada Allah bahwa acara telah berjalan lancar tanpa satu halangan dan bentuk syukur terhadap karunia Allah. Ratib Samman ini lebih panjang ketimbang pembacaan Surah Yassin dan tahlilan. Sejarahnya yaitu Abdush Shamad adalah putra Syekh Abdul Jalil bin Syekh Abdul Wahhab bin Syekh Ahmad al-Mahdani (ada yang mengatakan al-Mahdali), seorang ulama keturunan Arab (Yaman) yang diangkat menjadi Mufti negeri Kedah pada awal abad ke-18. Sementara ibunya, Radin Ranti adalah seorang wanita Palembang. Syekh Abdul Jalil adalah ulama besar sufi yang menjadi guru agama di Palembang, tidak dijelaskan latar belakang kedatangannya ke Palembang. Diperkirakan hanya bagian dari pengembaraannya dalam upaya menyiarkan Islam sebagaimana banyak dilakukan oleh warga Arab lainnya pada waktu itu. Al-Palimbani berperan aktif dalam memecahkan dua persoalan pokok yang saat itu dihadapi bangsa dan tanah airnya, baik di kesultanan Palembang maupun di kepulauan Nusantara pada umumnya, yaitu menyangkut dakwah Islamiyah dan kolonialisme Barat. Mengenai dakwah Islam, ia menulis selain dua kitab tersebut di atas, yang menggabungkan mistisisme dengan syariat, ia juga menulis Tuhfah al-Ragibtn ft Sayan Haqfqah Iman al-Mukmin wa Ma Yafsiduhu fi Riddah al-Murtadin (1188). Di mana ia memperingatkan pembaca agar tidak tersesat oleh berbagai paham yang menyimpang dari Islam seperti ajaran tasawuf yang mengabaikan syariat, tradisi menyanggar (memberi sesajen) dan paham wujudiyah muthid yang sedang marak pada waktu itu. Drewes rnenyimpulkan bahwa kitab ini ditulis atas permintaan sultan Palembang, Najmuddin, atau putranya Bahauddin karena di awal kitab itu ia memang menyebutkan bahwa ia diminta seorang pembesar pada waktu itu untuk menulis kitab tersebut.

http://palembangbari.blogdetik.com/2009/02/23/tradisi-beratib

Jumat, 18 Maret 2016

Peninggalan Islam di Palembang (
Sumatera Selatan )
1.         Masjid Lawang Kidul
Masjid Lawang Kidul adalah salah satu masjid tua di kota Palembang. Masjid ini terletak di tepian Sungai Musi di semacam tanjung yang terbentuk oleh pertemuannya dengan muara Sungai Lawangkidul, di kawasan Kelurahan Lawang Kidul, Kecamatan Ilir Timur II. Rumah ibadah ini dibangun dan diwakafkan ulama Palembang Kharismatik, Ki. Mgs. H. Abdul Hamid bin Mgs. H. Mahmud alias K. Anang pada tahun 1310 H(1890 M).
Ulama ini lebih dikenal sebagai Kiai Merogan. Panggilan itu merujuk pada tempat tinggal dan aktivitasnya yang banyak di kawasan muara Sungai Ogan (salah sat anak Sungai Musi) di kawasan Seberang Ulu. Ayahnya adalah seorang ulama dan pedagang yang sukses. Kiai  Merogan dilahirkan pada tahun 1811 M dan wafat pada 31 Oktober 1901. Ulama ini dimakaman di areal Masjid Ki Merogan, salah satu masjid yang dibangun selama syiar Islamnya.
            Selama berdakwah-sebelumnya, dia menetap di Mekkah, Saudi Arabia, tetapi mendapat bisikan untuk kembali ke kampong halaman – bersama murid-muridnya, Kiai Merogan menggunakan perahu hingga ke daerah pelosok di Sumatera Selatan. Karena itu pula, selain Masjid Lawang Kidul dan Masjid Kiai Merogan di Palembang serta tiga pemondokan jemaah haji di Saudi Arabia, Kiai Merogan masih memiliki peninggalan berupa masjid di Dusun Ulak Kerbau Lama Pegagan Ilir (OKI).
Atap Masjid Lawang Kidul memiliki tiga undakan. Uniknya, undakan kedua seakan-akan menutupi undakan pertama. Diantara undakan kedua dan ketiga tidak ada diberi sekat jendela. Bagian puncak atap terpasang bulan sabit. Atap ruangan mihrab tidak sama dengan atap utama masjid. Atap mihrab dibuat sangat mirip dengan atap kelenteng.
2.      Makam Kawah Tengkurep

Makam ini terlindungi kompleks pergudangan peti kemas Pelabuhan Bom Baru di kawasan Kelurahan III Ilir, Kecamatan Ilir Timur II. Dari pinggiran jalan raya, kita harus berjalan sekitar 200 meter untuk dapat melihat langsung kompleks pemakaman ini. Jika lebih memilih dari tepian Sungai Musi, maka kompleks ini berjarak tak lebih dari 100 meter.
Berdasarkan dari catatan sejarah lama kota Palembang, Pemakaman Kawah Tengkurep ini dibangun pada tahun 1728 Masehi atas perintah dari Sultan Mahmud Badaruddin I atau nama lainnya adalah Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo ( yang wafat pada tahun 1756 M ), kalau tidak salah, itu kurang lebih tidak lama setelah masa pembangunan Kompleks Makam atau Gubah Talang Kerangga ( 30 Ilir ) itu di selesaikan. Nama Pemakaman Kawah Tengkurep itu sendiripun diambil dari bentuk cungkup (kubah) -nya yang menyerupai sebuah kawah yang ditengkurapkan, atau kawah terbalik, ( kalau dalam bahasa Palembang adalah Tengkurep ).
Kompleks Pemakaman Kawah Tengkurep ini di dalamnya terdapat empat cungkup, tiga cungkup sengaja diperuntukkan bagi makam para sultan-sultan kota Palembang dan satu cungkup lainnya untuk putra-putri Sultan Mahmud Badaruddin, para pejabat kesultanan dan hulu-balang kesultanan kota Palembang.
Cungkup I :  
1.      Sultan Mahmud Badaruddin I (wafat tahun 1756 M)
2.      Ratu Sepuh, istri pertama yang berasal dari Jawa Tengah
3.      Ratu Gading, istri kedua yang berasal dari Kelantan (Malaysia)
4.      Mas Ayu Ratu (Liem Ban Nio), istri ketiga yang berasal dari Cina
5.      Nyimas Naimah, istri keempat yang berasal dari I Ilir (Guguk Jero Pager Kota Palembang Lamo)
6.      Imam Sayyid Idrus Al Idrus dari Yaman Selatan (Guru Spiritual Sultan).

Cungkup II :
1.      Pangeran Ratu Kamuk (wafat tahun 1755 M)
2.      Ratu Mudo (istri P. Kamuk)
3.      Sayyid Yusuf Al Angkawi (Imam/ Guru penasihat Sultan)

Cungkup III :
1.      Sultan Ahmad Najamuddin (wafat tahun 1776 M)
2.      Masayu Dalem (istri Najamuddin)
3.      Sayyid Abdur Rahman Maulana Tugaah (imam Sultan dari Yaman)

Cungkup IV :
1.      Sultan Muhammad Bahauddin (wafat tahun 1803 Masehi)
2.      Ratu Agung (istri Bahauddin)
3.      Datuk Murni Hadad (Imam Sultan dari Arab Saudi)
4.      Beberapa makam lain yang tidak terbaca namanya

3.      Banteng Kuto Besak
Benteng Kuto Besak mempunyai ukuran panjang sekitar 288 meter dan lebar lebih dari 187 meter, ukuran tersebut digunakan untuk melindungi keberadaan Keraton Kuto Baru dan Keraton Kuto Lama yang ada di dalamnya. Benteng Kuto Besak mulai dibangun sejak 1780 pada masa kekuasaan Sultan Mahmud Badaruddin I yang berkuasa pada rentang waktu tahun 1776-1803. Setelah masa kekuasaannya berakhir, pembangunan Benteng Kuto Besak kemudian dilanjutkan oleh Sultan Mahmud Badaruddin II hingga akhirnya selesai dibangun pada 1821.Benteng Kuto Besak secara umum mengadopsi gaya arsitektur bangunan Perancis. Uniknya benteng pertahanan ini dibangun menggunakan bahan baku berupa batu kapur yang langsung didatangkan dari Kabupaten Ogan Komering Ilir.
4.      Museum Sultan Mahmud Badaruddin II
Museum ini berdiri di atas bangunan Benteng Koto Lama (Kuto Tengkurokato Kuto Batu) dimana Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo dan Sultan Mahmud Badaruddin I (1724-1758) memerintah. Berdasarkan penyelidikan oleh tim arkeologis tahun 1988, diketahui bahwa pondasi Kuto Lama ditemukan di bawah balok kayu.

Benteng ini pernah habis dibakar oleh Belanda pada 17 Oktober 1823 atas perintah I.L. Van Seven House sebagai balas dendam kepada Sultan yang telah membakar Loji Aur Rive. Kemudian di atasnya dibangun gedung tempat tinggal Residen Belanda. Pada masa Pendudukan Jepang, gedung ini dipakai sebagai markas Jepang dan dikembalikan ke penduduk Palembang ketika proklamasi tahun 1945. Museum ini direnovasi dan difungsikan sebagai markas Kodam II/Sriwijaya hingga akhirnya menjadi museum.
http://historypeople94.blogspot.co.id/2014/05/beberapa-peninggalan-islam-di-sumatera.html

http://www.indonesiakaya.com/kanal/detail/benteng-kuto-besak-sisa-sisa-peninggalan-kesultanan-palembang-darussalam

Kamis, 17 Maret 2016

PERBEDAAN FATAHILLAH DAN SUNAN GUNUNG JATI
Fatahillah merupakan tokoh yang dikenal karena mengusir orang-orang dari Bangsa Portugis dari pelabuhan perdagangan Sunda Kelapa dan memberi nama "Jayakarta" yang berarti Kota Kemenangan. Sampai saat ini Fatahillah masih dianggap sebagai tokoh pendiri kota Jakarta. Pasca keberhasilan  menghancurkan Portugis di Sunda Kelapa, Fadhillah Khan beroleh Gelar baru Yakni Fatahillah yang artinya kemenangan dari Alloh, sedangkan tanggal 22 Juni ditetapkan sebagai hari jadi ibukota Jakarta.
Ada beberapa pendapat mengenai asal-usul Fatahillah.
·         Ada pendapat yang mengatakan bila Fatahillah berasal dari Pasai, Aceh Utara, yang kemudian pergi meninggalkan Pasai ketika daerah tersebut dikuasai Portugis. Kemudian Fatahillah pun pergi ke Mekah, lalu ke tanah Jawa, Demak pada masa pemerintahan Sultan Trenggono. Ada pendapat lain yang menjelaskan bahwa Fatahillah ini merupakan putra dari raja Makkah (Arab) yang menikah dengan putri kerajaan Pajajaran. Pendapat lainnya lagi mengatakan bila Fatahillah dilahirkan pada1448, dari pasangan Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina, dengan Nyai Rara Santang putri raja Pajajaran, Raden Manah Rasa. Berdasarkan Carita Purwaka Caruban Nagari dijelaskan bahwa silsilah Sunan Gunung Jati yaitu bahwa Nya Subanglarang ibu dari Nyai Lara Santang, nenek Sunan Gunung Jati adalah putri dari Ki Gede Tapa. Ratu Singapura dan penguasa pelabuhan Muara Jati. Nya Subang Larang lahir tahun 1404 dan menikah tahun 1422, kemudian dari pernikahannya lahir putri Nyai Lara Santang pada tahun 1426.Nyai Lara Santang menikah dengan Sultan Mahmud ari Mesir. Dari pernikahannya itu lahirlah Syarif Hidayatullah pada tahun 1448. Sultan Mahmud masih merupakan keturunan dari Nabi Muhammad s.a.w dan Syarif Hidayaatullah merupakanketurunan yang ke 22. Jika dihitung dari masa hidup Rosulullah jangka waktunya mencapai jarak 800 tahun.
·         Ada pula, sumber sejarah yang mengatakan sebenarnya Fatahillah itu lahir di Asia Tengah (mungkin di Samarqand), kemudian ia menimba ilmu ke Baghdad, dan mengabdikan dirinya ke Kesultanan Turki, sebelum bergabung dengan Kerajaan Demak. Namun pendapat ini juga tidak jelas berasal dari mana.
Pada 1972, ditemukan sebuah naskah kuno di Indramayu, sehingga pandangan tentang tokoh Fatahillah mulai berubah. Kitab kuno itu bernama Carita Purwaka Caruban Nagari, yang ditulis pada 1720, oleh Pangeran Arya Carebon. Namun yang menjadi masalah, masa penulisan kitab itu adalah 200 tahun setelah masa hidup Fatahillah. Kitab itu pun masih diragukan keasliannya oleh banyak pihak karena banyaknya kekeliruan penulisan.
·         Dari sumber Sajarah Banten menyebutkan tokoh Sunan Gunung Jati sebagai seorang yang keramat. Dia datang dari tanah Arab. Ayahnya berasal dari Yamani, sementara ibunya dari Bani Israil. Raja Cirebon saat itu bernama Makdum, berasal dari Pasai (Sejarah Nasional Indonesia Jilid III dan berbagai buku karangan H.J. de Graaf). Menurut Carita Purwaka Caruban Nagari, tokoh dari Pasai itu bernama Fadhillah Khan, diidentifikasi sebagai Fatahillah. Dia lahir pada 1490. Sementara tokoh Sunan Gunung Jati, nama lain dari Syarif Hidayat, lahir pada 1448 di Mekah dan tiba di Cirebon sekitar 1470. Dengan demikian Fatahillah dan Sunan Gunung Jati merupakan dua tokoh yang berbeda.
·         Pada tahun 1568, Sunan Gunung Jati wafat, sedangkan cucu beliau yang direncanakan untuk mengganti kedudukannya ( Pangeran Adipati Cirebon ) justru telah meninggal lebih dahulu, oleh karena itu, Fatahillah diangkat menjadi Sultan Cirebon dan masyarakat Cirebon sering menyebutnya sebagai Sunan Gunung Jati II. Mungkin karena itulah orang sering keliru dan beranggapan bahwa Fatahillah dan Sunan Gunung Jati adalah orang yang sama, padahal mereka jelas berbeda.
Hubungan Fatahillah dan Sunan Gunung Jati
·         Dari Penelitian terakhir menunjukkan Sunan Gunung Jati tidak sama dengan Fatahillah. Sunan Gunung Jati adalah seorang ulama besar dan muballigh yang lahir turun-temurun dari para ulama keturunan cucu Muhammad, Imam Husayn. Nama asli Sunan Gunung Jati adalah Syarif Hidayatullah putra Syarif Abdullah putra Nurul Alam putra Jamaluddin Akbar.
·         Sedangkan Fatahillah adalah seorang Panglima Pasai, bernama Fadhlulah Khan, orang Portugis melafalkannya sebagai Falthehan. Ketika Pasai dan Malaka direbut Portugis, ia hijrah ke tanah Jawa untuk memperkuat armada kesultanan-kesultanan Islam di Jawa (Demak, Cirebon dan Banten) setelah gugurnya Raden Abdul Qadir bin Yunus (Pati Unus, menantu Raden Patah Sultan Demak pertama).
·         Pada akhir 1990-an, Sultan Sepuh Cirebon pun mengkonfirmasikan perbedaan dua tokoh ini dengan menunjukkan bukti dua buah makam yang berbeda. Syarif Hidayatullah yang bergelar Sunan Gunung Jati sebenarnya dimakamkan di Gunung Sembung, sementara Fatahillah (yang menjadi menantu beliau dan

SUNAN GUNUNG JATI
SUNAN GUNUNG JATI II
Terlahir dengan nama Syarif Hidayatullah
Terlahir dengan nama Maulana Fadhillah
Lahir di Mesir/Champa tahun 1448
Lahir di Pasai tahun 1471
Putra Syarif Abdullah/sultan Mesir/Champa
 Putra Mahdar Ibrahim ( Mufti kesultanan Pasai )
Anggota majelis Walisongo generasi ke 3, 4 dan 5
Anggota majelis Walisongo generasi 4, 5 dan 6
Bergelar Kanjeng Sunan Jati Purbo Panetep Panotogomo Auliya Alloh Kutubid Jaman Khalifatur Rosululloh, SAW
Bergelar Laksamana Khoja Hasan/Fatahillah/Tubagus Pasai/Wong Agung Pasai/Sunan Gunung Jati II









http://jakartapedia.bpadjakarta.net/index.php/Fatahillah    
http://unes36.blogspot.co.id/2013/01/sunan-gunung-jati-dan-fatahillah.html