TRADISI
ISLAM DI KOTA PALEMBANG
1. Ziarah
kubra
Setiap tahunnya saat
memasuki Ramadhan, umat Islam di Palembang menggelar tradisi Haul Ziarah Kubra
ulama dan auliya Palembang Darussalam. Tradisi turun menurun sudah dilakukan
sejak puluhan tahun silam khususnya bagi kaum alawiyyin dan salaf Baalawi
setiap menjelang bulan Ramadhan tepatnya pada Jum’at terakhir sebelum Ramadhan
selama 3 hari, sejak Jumat, Sabtu dan Minggu. Bahkan banyak tokoh-tokoh
Islam yang selalu hadir seperti Habib Bagir Al Atas dari Pekalongan, Habib Sholeh
Al Idrus dari Malang dan Imam Habib Umar bin Abdulrahman Al Zufri dari Madinah.
Acara ini juga melibatkan keluarga Kesultanan
Palembang Darussalam mengingat eratnya hubungan kekeluargaan antara kaum
Alawiyyin dengan para sultan di Kesultanan Palembang Darussalam. Salah
satu tujuan dilakukan ziarah ini adalah untuk mengenang dan meneladani para
ulama yang telah melakukan syiar Iislam di kota Palembang. Kegiatan ini
dilaksanakan dengan berjalan kaki, membawa umbul-umbul yang bertuliskan kalimat
tauhid, dan juga disemarakkan dengan tetabuhan hajir marawis dan untaian
kasidah.
Biasanya, rangkaian pertama dari Ziarah Kubra
ini adalah diawali dengan haul Al-Habib Abdullah bin Idrus dan Al-Habib
Abdurrahman bin Ahmad Al-bin Hamir. Haul ini dilaksanakan di perkampungan
Alawiyyin Sungai Bayas Kelurahan Kuto Batu Palembang.
Menurut sejarah, perkampungan Sungai Bayas
ini sudah ada sejak 300 tahun lalu. Kampung ini merupakan pemukiman awal para
ulama dari Hadramaut (Yaman), yang menyebarkan ajaran Islam di Palembang dan
daerah lain di Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam. Kini para keluarga
ulama itu menetap di perkampungan di sekitar Sungai Bayas, antara lain Kampung
Muaro, 10 Ilir, 13 Ilir, Lawang Kidul, dan Al-Fakhru. Sementara di
seberang ulu, antara lain Kampung As-Seggaf, Al-Kaaf, Al-Munawar, Al-Habsyi,
Kenduruan, dan Sungai Lumpur. Selanjutnya Ziarah dilakukan di makam Pangeran Syarif Ali, Pemakaman
kesultanan kawah tengkurep, Pemakaman kambang koci.
http://sufiroad.blogspot.co.id/2015/11/hikam-bnu-athaillah-amal-makrifat.html
2. Cacap
– cacapan
Pengantin yang sudah
berpakaian pengantin siap untuk di lakukannya cacap-cacapan dan
suap-suapan.Suap-suapan, acara ini di bawakan oleh perempuan baik dari pembawa
acara, pelantun pantun, pembaca doa, begitu juga dengan yang melakukan suapan
dengan pengantin, pada saat di tempat acara pengantin perempuan duduk di
belakang pengantin pria dan di lakukan suapan dari nasi kunyit panggang ayam
(mirip seperti tumpeng).Cacapan-cacapanUntuk cacap-capan ritual yang di lakukan
sama seperti suap-suapan tetapi untuk cacap-cacapan ini berupa air bunga yang
di usapkan di dahi dan ubun-ubun (seputaran kepala), untuk sekarang biasanya
kedua acara di atas sudah di campur antara perempuan dan laki-laki jadi ada
juga yang melakukan cacap-cacapan adalah laki-laki ayah dari pengantin
perempuan dan pengantin laki-laki.Setelah acara ini biasanya di lakukan acara
perjamuan dengan susunan makanan panjang di mana di tengahnya ada kelmplang
“Tunjung”, srikaya, bolu kojo, bluder dan berbagai makanan lainnya (untuk di
ingat biasanya kelmplang tunjung hanya di jadikan sebagai symbol tidak boleh di
makan). http://www.kompasiana.com/18apri1983palembang/adat-palembang-dalam-perkawinan_55001d5da333118d7350fa06
3. Tradisi Beratib
Acara beratib ini di laksanakan sesuai dengan
waktu yang telah di tentukan ada yang di lakukan pada malam Jumat, atau selesai
acara perayaan ratib samman ini sebagai bentuk suyukuran kepada Allah bahwa
acara telah berjalan lancar tanpa satu halangan dan bentuk syukur terhadap
karunia Allah. Ratib Samman ini lebih panjang ketimbang pembacaan Surah Yassin
dan tahlilan. Sejarahnya yaitu Abdush Shamad adalah putra Syekh Abdul
Jalil bin Syekh Abdul Wahhab bin Syekh Ahmad al-Mahdani (ada yang mengatakan
al-Mahdali), seorang ulama keturunan Arab (Yaman) yang diangkat menjadi Mufti
negeri Kedah pada awal abad ke-18. Sementara ibunya, Radin Ranti adalah seorang
wanita Palembang. Syekh Abdul Jalil adalah ulama besar sufi yang menjadi guru
agama di Palembang, tidak dijelaskan latar belakang kedatangannya ke Palembang.
Diperkirakan hanya bagian dari pengembaraannya dalam upaya menyiarkan Islam sebagaimana
banyak dilakukan oleh warga Arab lainnya pada waktu itu. Al-Palimbani
berperan aktif dalam memecahkan dua persoalan pokok yang saat itu dihadapi
bangsa dan tanah airnya, baik di kesultanan Palembang maupun di kepulauan
Nusantara pada umumnya, yaitu menyangkut dakwah Islamiyah dan kolonialisme
Barat. Mengenai dakwah Islam, ia menulis selain dua kitab tersebut di atas,
yang menggabungkan mistisisme dengan syariat, ia juga menulis Tuhfah al-Ragibtn
ft Sayan Haqfqah Iman al-Mukmin wa Ma Yafsiduhu fi Riddah al-Murtadin (1188).
Di mana ia memperingatkan pembaca agar tidak tersesat oleh berbagai paham yang
menyimpang dari Islam seperti ajaran tasawuf yang mengabaikan syariat, tradisi
menyanggar (memberi sesajen) dan paham wujudiyah muthid yang sedang marak pada
waktu itu. Drewes rnenyimpulkan bahwa kitab ini ditulis atas permintaan sultan
Palembang, Najmuddin, atau putranya Bahauddin karena di awal kitab itu ia
memang menyebutkan bahwa ia diminta seorang pembesar pada waktu itu untuk
menulis kitab tersebut.
http://palembangbari.blogdetik.com/2009/02/23/tradisi-beratib